Jumat, 10 Agustus 2012

Bintangku Dalam Dongeng Ibu

Cerita Berbingkai

Ibu, hari ini aku sangat senang. Aku berhasil menjadi bintangku. Walau aku takkan bisa menggantikan sinarnya, namun aku merasa ini sungguh luar biasa. Kini aku bisa menduduki tahta sang bintang. Oh, ibu, singgasana yang dulu aku impikan memang telah menjadi milikku, tapi mampukah aku mewujudkan bintang kecil sehebat bintang itu mewujudkan ku? Jasmine sayang ibu.

“Huh, aku rasa cukup. Ibu pasti senang ketika membaca surat ini dan … Wow!! Ini adalah surat ke 10.000 ku untuk ibu. Ya Tuhan, semoga ibu tidak lelah mendengar ocehanku tiap malam seperti itu!”
“Mama!” suara itu benar-benar mengejutkanku dan menyadarkanku dari pikiran tentang ibu. Ternyata itu Marsya yang sudah aku tunggu sejak tadi. Setiap malam aku biasa menunggu di kamarnya agar bisa langsung mendongeng untuknya.
“Ma, malam ini Marsya langsung tidur saja, ya. Mars lelah. Tapi dongeng mama tetap Mars tunggu besok siang saat jam tidur siang.”
“Iya, sayang. Selamat tidur.”
Aku kembali memandangi buku catatan berisi surat-surat untuk ibu yang masih tergenggam di tanganku.



“Ibu, ayo lanjutkan lagi ceritanya. Supaya nanti ketika ayah pulang, aku bisa menceritakannya pada ayah.”
“Iya, Jasmine. Sampai mana ya, ibu tadi?” ibu mencoba merangkai kembali ceritanya yang harus terhenti ketika aku dengar hp ibu berbunyi dan ia berbicara cukup serius dengan seorang lelaki. Aku sempat berpikir, siapa orang yang menelepon ibu malam-malam begini. Tapi sudahlah, mungkin itu teman kerja ibu yang sedang lembur dan ingin meminta ibu membantunya. Tentu saja keinginan orang itu tidak akan terpenuhi, karena ibu tidak pernah mau meninggalkan ku yang belum tertidur dan masih penasaran dengan akhir cerita di setiap dongengnya.
“Ibu, ayah mana? Aku sudah berusaha bangun sepagi ini agar bisa bercerita pada ayah tentang dongeng ibu tadi malam. Kenapa ayah pergi ke kantornya cepat sekali? Bahkan aku tidak melihat baju kotornya di keranjang pakaian. Aneh.”
“Loh, ibu menangis, ya? Kenapa, bu? Ada yang salah dengan ucapanku?”
Sambil mengusap air matanya yang sudah terlanjur membasahi pipi tuanya, “Tidak Jasmine, ibu tau kamu tidak salah apa-apa. Ibu menangis bukan karena itu. Ada hal lain yang belum bisa ibu ceritakan padamu.”
“Ibu, Jasmine sudah tidak kecil lagi. Badan Jasmine sudah besar. Walaupun usia Jasmine masih 13 tahun, tapi Jasmine akan berusaha menjadi teman yang baik untuk ibu bercerita. Ceritakan saja seperti ibu mendongeng setiap malam.” Aku tersenyum penuh harap.
“Ya, Tuhan. Terimakasih. Kamu sangat baik dan pintar, sayang. Hmm.. ibu rasa itu ide yang bagus. Nanti malam saja ya, ibu akan ceritakan padamu lewat dongeng ibu. Sekarang pesanan kue sedang banyak dan ibu harus kerja extra. Maaf ya.”



Ketika itu, jagad raya masih menjadi satu-satunya tempat yang ada dan penuh dengan kedamaian. Matahari, sosok yang sangat dikagumi banyak kalangan, tidak pernah lelah menebarkan senyum hangatnya kepada penghuni jagad raya. Ia memang dinilai sangat baik, bijaksana, dan mempesona oleh para bintang. Hampir semua bintang selalu menampakkan sinar terindahnya ketika melihat Matahari, namun tidak satupun dari mereka yang dianggap spesial oleh Matahari. Ketika Matahari sedang berjalan bersama Awan, ia melihat sekumpulan bintang menanti kedatangannya di pinggir jalan, dan seperti biasa, mereka berlomba-lomba menjadi yang paling bersinar. Hal itu tidak juga membuat Matahari menghentikan langkahnya bersama Awan. Belum jauh dari kerumunan bintang-bintang itu, Matahari menarik tangan Awan untuk berusaha menghentikan langkahnya.
“Eh, tunggu sebentar! Lihat bintang yang itu!” Matahari menunjuk arah sekumpulan bintang yang sudah ia lewati beberapa saat yang lalu.
“Ha? Apa? Yang mana? Itu? Haha.. kamu sehat, kan, Har? Mereka cuma sekumpulan bintang biasa yang mengharapkan perhatianmu. Ya, seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Sudah, ayo pergi saja!”
“Tidak! Coba perhatikan baik-baik! Itu, yang paling belakang, dia tidak memamerkan sinarnya ketika kita lewat tadi. Aneh.”
“Haha.. sudahlah, mungkin dia sedang tidak enak badan dan tidak berenergi untuk itu.” Matahari terus memikirkan bintang itu. Sampai ia meminta tolong Awan untuk mencarikan informasi tentang siapa bintang luar biasa itu.
“Namanya Venus.”
“Venus? Nama yang cantik dan lembut. Dia pasti bukan bintang biasa seperti yang lain. Luar biasa!”
“Ah, dasar kau ini, Har! Tapi tidak apa-apa, akhirnya kamu jatuh cinta juga. Haha ..”
Matahari berusaha mencari cara untuk menghindar dari godaan para bintang dan bisa bertemu dengan Venus. Semua daya dan upayanya berhasil. Berkat bantuan Awan, beberapa kali ia dapat bertemu dengan Venus. Awalnya Venus tidak peduli dengan apapun yang dilakukan Matahari, namun kegigihan Matahari telah melelehkan hati Venus. Mereka pun menikah dan menjadi pasangan paling bahagia di jagad raya. Ketika Venus memberitahu Matahari bahwa akan lahir bintang kecil darinya, Matahari terkejut dan merasa tidak siap dengan itu. Ia tidak mau mendapat beban dan tanggung jawab untuk membuat sinar bintang kecil itu menjadi luar biasa. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Venus dan tidak pernah kembali lagi. Ketika Venus berhasil membuat sinar bintang kecilnya menjadi begitu indah, Matahari kembali lagi. Ia mendengar kabar bahwa bintang kecil miliknya dan Venus telah tumbuh menjadi bintang yang sinarnya luar biasa dan berbau sangat harum seperti bunga melati. Venus tetap pada pendiriannya, bahwa bintang kecil itu bukanlah milik Matahari lagi. Bintang kecil yang cantik dan harum itu adalah miliknya dan akan menjadi milik semua orang nantinya. Matahari pun mengasingkan dirinya dan berjanji tidak pernah menemui Venus dan bintang kecil itu. Ia bersembunyi ketika malam hari dan berusaha tersenyum lagi ketika siang agar tidak pernah bertemu dan bersatu dengan bintang yang lain. 



“Ayah!” Setelah ibu menyelesaikan dongengnya, seketika itu juga satu nama aku sebutkan.
Ibu sangat terkejut. “Matahari itu ayah, ya, Bu?”
“Dan Venus itu ibu?”
“Pasti bintang kecil yang harumnya seperti bunga melati itu, Jasmine kan, Bu?”
“Jasmine, itulah jawaban dari pertanyaanmu tentang ayah yang tidak pernah bisa ibu jawab selama ini. Maafkan ibu, ya, Nak! Dan tolong jangan salahkan ayahmu!”
Belum sempat aku menjawab permohonan ibu, ia tergeletak di lantai persis di depan tempat ku berdiri. Ku pagang tangannya erat-erat. Ku bangunkan ia sampai basah badannya karena air mataku yang tidak sempat kuusap lagi.
“Ibu, sungguh aku tidak ingin kehilanganmu. Aku akan sangat merindukan kuemu. Dan ibu, kau harus tau, selama 13 tahun aku hidup, itu adalah dongeng terindah dan terakhirku yang keluar dari mulutmu. Aku sangat menyayangimu, Ibu.”



Tidak terasa air mataku menetes juga. Buku catatan yang berisi surat-suratku untuk ibu pun basah seperti baru saja terendam banjir. Kuusap perlahan air mataku dan ku pandangi Marsya yang sudah tertidur lelap. Ya, kini aku berhasil menjadi seperti bintangku. Aku berhasil menempati singgasana bintangku. Kini aku akan lebih berusaha agar bisa membuat Mars, bintang kecilku itu, menjadi luar biasa seperti dulu Venus membuat bintang kecilnya bersinar dengan sangat luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Frame

Thanks for visiting my blog. If you like it, just follow me :)